Sejarah Ganja

Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria.

Cannabis atau ganja ini juga diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja sendiri di sana dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat umbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan.
Julukan populis lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu mariguango yang berarti barang yang memabukkan dan untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.
Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Di kalangan anak muda nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo, gelek, cimeng atau rasta. Sementara sebutan keren lainya ialah tampee, pot, weed, dope.
Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambatlaun mentradisi di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit dihilangkan atau diberantas lagi di sana.
Pelarang Ganja
Mengapa ganja dilarang? Inilah petanyaan yang belum dimengerti masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain.
Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda paling paling banyak satu milyar rupiah.
Di Aceh, dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di kios, di gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara. Ia ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang dinilai merugikan ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke kampung-kampung dan ketemulah jawaban bodohnya, karena ganja.
Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ganja untuk kepentingan industri maupun medis yaitu ganja jenis Hemp, dan ganja terlarang sering disebut Cannabis. Sementara di Indonesia tidak mengenal perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 disebutkan bahwa ganja termasuk sebagai narkotika saja.
Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena zat THC. Zat ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk sesaat jika salah digunakan. Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan dipantau dengan proses yang benar.
Dalam penelitian meta analisis para ahli dari Universitas Cardiff dan Universitas Bristol, Inggris, pencandu ganja berisiko schizophrenia, yakni peningkatan gejala seperti paranoid, mendengar suara-suara dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada yang berujung pada kelainan jiwa, seperti depresi, ketakutan, mudah panik, depresi, kebingungan dan berhalusinasi, gangguan kehamilan dan janin.
Kesan Aceh sebagai ladang ganja berkonotasi negatif memang telah mencoreng muka kita semua di mata Internasional. Untuk mengatasi ini, dibutuhkan keterlibatan segenap elemen mayarakat, terutama orang tua yang memiliki anak yang cerdas, kalau anaknya sudah bodoh dari sananya, tanpa pakai ganja pun cit ka paak alias dungu. Peran Pemerintah Aceh dan ulama serta penegak hukum yang ‘masih sehat’ sangat menentukan endingnya kemelut ganja di Aceh. Lebih menentukan lagi bila disokong penuh oleh NGO baik lokal maupun asing dan elemen sipil yang masih ‘mengudara’ di Aceh saat ini.
Dengan program Alternatif Development (AD) yang dicanangkan pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional (BNN), semoga 15 tahun mendatang, Aceh bebas dari efek negatif ganja dan dapat memanfaatkan potensi ganja sebagai komoditi ekspor unggulan untuk kepentingan industri maupun medis, tanpa harus disalah gunakan